Sunday, February 27, 2022

SEMBURAT 1

 BAB 1: YOGA PERDANA

Yoga menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, dengan langkah yang lambat dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh.


Waktu menunjukan pukul empat sore, lalu-lalang penduduk yang pulang dari ladang seperti biasa, menyambut senja Yoga yang kegiatanya hanya tidur disiang hari dan begadang dimalam hari.

Yoga adalah seorang pria yang cukup tampan, rambutnya ikal agak panjang samapai menutupi telinga, badanya tidak begitu kurus, kulitnya putih, hidung agak mancung, namun kulit disekitar matanya agak gelap akibat kebiasaan begadang.

Selesai mandi, kemudian dia mencari makanan di dapur. tumpukan piring dan gelas yang belum dicuci, wastafel yang penuh bekas makanan serta bungkus mie instant berceceran di sekitarnya adalah pemandangan biasa yang setiap waktu menemani. Di dalam dapur yang seperti kapal pecah itu dia memasak sebungkus mie instant yang hampir kadaluarsa satu bulan lagi. Sambil menunggu mienya matang, dia mengambil sebungkus kopi sachet, merobeknya kemudian menuangkanya ke dalam gelas berisi air panas.

Setelah menyelesaikan ritualnya di dapur, dia membawa mie dan kopi tersebut ke teras rumah, duduk melahap mie instant sembari menikmati pemandangan pedesaan yang indah serta menghirup udaranya yang segar, tak lupa ia menyapa lalu-lalang penduduk yang pulang dari ladang.

Yoga memang seperi tidak terurus. Orang tuanya sudah bercerai saat dia SD, ibunya merantau ke kota untuk menyambung kehidupan, ayahnya pergi entah kemana. Sementara Yoga baru saja lulus SMA sekitar empat tahun yang lalu dan tidak melanjutkan pendidikanya. Hidupnya hanya bergantung kepada kiriman uang dari ibunya. Ya, Yoga menganggur sampai sekarang.

Hari demi hari Yoga habiskan di dalam rumah tanpa hal produktif yang berarti. Sementara teman sebayanya sudah melenggang meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di kota-kota besar, sebagian kecil lainya menekuni usaha dan bekerja di desa tanpa harus merantau, bahkan ada beberapa yang bertani. Hanya Yogalah yang masih bertahan dengan kesendirian tanpa penghasilan.

Teras rumah diselimuti keramik putih dengan sebuah kursi kayu yang kokoh adalah tempat merenung yang nyaman baginya, sementara jam sudah menunjukan setengah lima sore, keheningan mulai menyelimuti pedesaan ini, tidak ada lagi penduduk lalu-lalang di sekitar rumah Yoga, mereka telah kembali ke tempat tinggal masing-masing. Suasana yang sepi membuat pikiran yoga tenang dan damai, menatap kosong ke arah kebun depan rumahnya, entah apa yang ia renungkan.

Mendadak kehaningan pecah, buyar dan berantakan, imajinasi yang dibangun Yoga seketika hilang tanpa pamit oleh suara handphonenya. Terlihat pada layar sebuah panggilan masuk dari Dewi, pacar Yoga.
Tanpa pikir panjang, diraihnya handphone dengan wajah berseri seperti tidak ada beban dalam kepalanya.

Tak lama raut wajah Yoga berubah dari senyum lebar mejadi merah padam. Ya, mereka bertengkar lagi lewat telepon. Hal ini sudah menjadi kebiasaan rutin Yoga dan Dewi, pertengkaran selalu datang tak terelakan.

"Kenapa Lagi?" tanya yoga.

"Aku capek mas!" Jawab Dewi.

Yoga menghela napas dalam "Capek kenapa?"

"Ah! Sudahlah mas, aku capek kayak gini terus, kamu juga nggak ada geraknya sama sekali." dengan nada kecewa.

"Ini kamu arahnya ke mana?" Yoga sedikit berteriak.

"Terserah lah!" Dewi menutup telepon.

Senja itu dilalui Yoga dengan hati tak karuan, amarah yang tertahan dan pikiran penuh beban. Namum seperti biasa, dia tidak mengambil tindakan.
Kembali ia menatap kosong ke kebun depan rumah untuk menenangkan pikiran. Namun percuma saja, otaknya sudah kadung semrawut dengan kejadian barusan.

Dikeluarkanga sebatang rokok dari bungkusnya kemudian dibakar, hisapan-hisapan halus diiringi kepulan asap menghalangi wajah senja kala itu. Tarikan demi tarikan napas diselimuti asap putih memenuhi paru-paru Yoga yang sesak dengan perkara kehidupan.

"Ah! Selalu saja begini!" Yoga memegang dahi "cewek selalu ingin menang sendiri!"

Setelah berkata demikian, Yoga lekas mengambil mangkok kosong dan gelas untuk kemudian dibawa ke dalam rumah.
Dicucinya semua tumpukan piring di dapur, tanpa sepatah katapun diselesaikanya urusan dapur.
Setelah selesai, dia menuju ruang tamu untuk duduk sembari memandang senja yang memancar dari jendela.

"Indah sekali." Kata yoga sambil tersenyum.

Senja selalu menjadi obat sementara, dari segala perkara kehidupanya,
Senja begitu manis,
Senja laksana siraman penyejuk jiwa,
Senja layaknya senyum bidadari,
Senja adalah semburat jingga.

Ada yang selalu dia tunggu disetiap senjakala.


No comments:

Post a Comment

20 Best Games For Low-End PC | Part 2